Menggapai Titik Tertinggi Pegunungan Andes (Part. 01)
Selama musim pendakian antara tahun 2010-2011, tercatat lima pendaki tewas di Aconcagua (6.962 mdpl). Dan sebanyak 284 orang lainnya dievakuasi karena terjebak badai salju dan mengalami kecelakaan lainnya. Catatan tersebut masih tertancap jelas di benak saya dalam perjalanan menuju Buenos Aires, Argentina. Tahun tersebut adalah waktu yang sama ketika saya mendaki ke Aconcagua bersama tiga rekan lainnya. Saya sempat merasakan keganasannya kala itu. Si badai putih atau disebut ‘El Viento Blanco’ berhembus sangat cepat menerjang kami ketika turun dari puncak. Masih terbayang dengan jelas.
Dalam berbagai kasus kecelakaan, memang badai putih ini diduga salah satu biang keladinya. Dalam buku Aconcagua, Summit of The Americas, sang penulis Mauricio Fernandez menggambarkan kecepatan tiupannya melebihi 80 km per jam, bercampur hembusan salju dan sambaran halilintar, seakan melindungi mahkota kerucut puncaknya. Ketika menerjang, seluruh area diselimuti kabut putih yang pekat. Akan sangat sulit berorientasi. Belum lagi terpaan angin yang menusuk seperti akan merobek-robek jaket yang kita pakai.
Sebelum bertolak ke negeri Tango, memang saya sudah mendapat banyak laporan mengenai cuaca buruk yang terjadi saat ini. Seorang pemandu menulis dalam akun media sosialnya, “Angin bertiup sangat kencang (extremely hard) di sini di Camp 1! Tim kami dalam kondisi baik walaupun ada tiang tenda yang patah dan prakiraan cuaca tidak mendukung untuk bergerak ke tempat lebih tinggi. Kita akan menunggu”. Tulisan tersebut disertai sebuah foto tenda yang hampir rubuh diterpa angin kencang.
Bulan Januari dan Februari adalah musim pendakian terbaik untuk Aconcagua. Karena itu saya memilih waktu pendakian saat ini. Cuaca seperti ini tidak biasa. Dan memang, kondisi cuaca buruk itu disebabkan oleh anomali siklus El Nino yang terjadi di Samudera Pasifik saat ini. El Nino seperti kita tahu bahkan mempengaruhi iklim global. Apalagi Aconcagua di Pegunungan Andes yang cuma sekitar 100-an kilometer dari Samudera Pasifik. Saya hanya bisa berdoa mudah-mudahan cuaca membaik. Sudah beberapa hari ini tidur tidak bisa pulas. Termasuk di pesawat. Dan ketika mata justru mau terpejam, awak kabin menyampaikan pengumuman bahwa pesawat akan segera mendarat, di Buenos Aires.
Sudah 30 jam kami di dalam pesawat. Badan terasa pegal-pegal. Kami berlima langsung meluncur ke Wisma Kedutaan Besar Indonesia untuk Argentina. Saya di sini bertugas memandu tiga orang mahasiswi dari Mahitala-Unpar yang sedang berjuang menjadi wanita pertama dari Indonesia yang menyelesaikan sirkuit seven summits. Dan seorang bapak, di usianya yang lebih dari 50 tahun juga mencoba menjejakkan kakinya di tujuh puncak tertinggi di setiap benua. Kami sempat bertemu dengan Duta Besar, Bapak Jonny Sinaga. Tetapi Buenos Aires hanya persinggahan sementara untuk kami. Sekali penerbangan lagi menuju kota terakhir sebelum pendakian dimulai.
Setelah dua jam penerbangan, akhirnya saya kembali lagi ke Mendoza. Lima tahun sudah berlalu sejak saya mencapai puncak tertinggi di benua Amerika Selatan untuk pertama kali. Tidak ada waktu bersantai. Segera saya membeli bahan makanan yang dibutuhkan dan mengaturnya untuk siap dibawa dalam pendakian nanti. Kemudian mengurus ijin pendakian dan berkoordinasi dengan perusahaan local yang akan mendukung kami hingga kemah induk.
Di sela-sela persiapan, saya menyempatkan bertemu dengan pendaki wanita dari Malaysia, Anis Sharuddin dan seorang teman pendaki dari Singapura, Khoo Swee Chiow. Mereka sudah memulai pendakian terlebih dahulu, tetapi sayang keduanya gagal mencapai puncak. Anis terjatuh dalam pendakian menuju puncak, dan harus dievakuasi menggunakan helikopter. Ia menceritakan perjuangannya menembus badai kala mendaki ke puncak. Sedangkan Khoo Swee Chiow, yang juga pemandu, bersama timnya bahkan tidak bisa melanjutkan pendakian karena cuaca buruk dan memutuskan untuk turun. Anis mendaki dalam rangka membawa misi menjadi wanita Malaysia pertama yang mencapai seven summits. Mereka memperingatkan saya untuk berhati-hati dalam pendakian kali ini.
Akhirnya tiba waktu kami untuk memulai pendakian. Tanggal 17 Januari 2016, kami mulai berjalan menyusuri lembah Horcones. Tiga hari ke depan adalah waktu perjalanan kami menuju kemah induk Aconcagua. Gunung Aconcagua sudah terlihat dari sini, tetapi masih jauh di depan. Ditemani rombongan Mulas dan penggembalanya, Gaucho, kami berjalan di lembah yang tandus itu. Mulas adalah campuran antara keledai dan kuda, merupakan pengangkut logistik kami menuju kemah induk. Sedangkan Gaucho adalah Koboinya Amerika Selatan, kaum penggembala kuda dan pengelana di Pegunungan Andes.
Kami diberkati cuaca yang baik di awal pendakian. Langit sangat biru dan tidak ada awan sama sekali. Begitu pula di atas sana, terlihat tidak ada awan yang menutupi ‘Si Pengawas Batu’ (Akhon Cahuak, asal kata Aconcagua dalam bahasa suku Quechua). Medan sangat bervariasi, menanjak dan menurun, dengan tanah berpasir. Tanah yang sangat tidak subur. Karena letak lintang dan ketinggiannya, daerah ini sangat jarang diberkati hujan. Hanya rumput dan semak perdu yang dapat tumbuh di sini. Ketika Mulas melewati kami, debu beterbangan sehingga berjalan dengan penutup hidung pun menjadi pilihan terbaik.
Sepertinya cuaca sudah membaik, setidaknya saya berharap seperti itu. Di hari kedua kami melakukan aklimatisasi (penyesuaian tubuh terhadap ketinggian) ke Plaza Francia (4,200 mdpl), kemah induk jika akan mendaki Aconcagua melalui sisi selatan. Pendakian dari sisi selatan merupakan jalur tersulit karena dihadapi dengan dinding terjal ribuan meter. Butuh kemampuan tinggi untuk melaluinya. Dan di hari ketiga, setelah 9,5 jam berjalan, akhirnya kami tiba di kemah induk Plaza de Mulas (4.250 mdpl). Hari itu kami berjalan pada suhu 30 derajat Celcius. Teriknya matahari terasa menusuk-nusuk kulit. Pada ketinggian tersebut, radiasi ultra violet matahari lebih kencang daripada di permukaan laut.
Hari keempat saya gunakan untuk beristirahat penuh di Plaza de Mulas. Sambil kembali menyesuaikan tubuh dengan oksigen yang semakin tipis. Pagi hari saya berkeliling dan berdiskusi dengan pendaki lain mengenai rencana pendakian dan prakiraan cuaca. Lalu siang hari mulai memilah-milah logistik yang akan dibawa naik. Dan ketika itu pula, kabut mulai turun dan semakin tebal. Dilanjutkan dengan hujan salju selama 20 menit. Walaupun sebentar, ini seperti sebuah pertanda, dari prakiraan yang saya dapat. Cuaca akan semakin memburuk satu minggu ke depan. Salju akan turun hampir setiap hari. Angin akan bertiup kencang antara 40-55 km/jam di kemah pertama mulai dari dua hari ke depan hingga enam hari ke depan.
Akan ada tiga kemah lagi menuju puncak. Kemah ketiga atau disebut Camp Colera berada pada ketinggian 6.000 mdpl. Saya tidak mau membayangkan apa yang akan saya hadapi di sana. Walaupun sebenarnya saya sudah melihat prakiraannya. Bahkan saya tidak bisa mengatakan saat ini apakah bisa naik ke kemah ketiga atau tidak jika prakiraan itu betul. Setidaknya kami punya beberapa hari cadangan. Dan saya hanya bisa berharap yang terbaik karena kami sudah bersiap untuk yang terburuk.